Di Indonesia, perbincangan
mengenai hukum tata negara dan konstitusi makin mendapat perhatian berbagai
kalangan. Hukum tata negara dan konstitusi tidak lagi diasosiasikan dengan sesuatu
yang jumud, stagnan, atau tidak berkembang seperti yang sering dilekatkan pada
masa sebelumnya. Kedua hal itu telah berkembang secara dinamis beberapa tahun
terakhir ini seiring dengan terjadinya reformasi di bidang politik dan hukum
yang menandai dimulainya era reformasi, termasuk dengan dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945.
Salah satu tanda dinamika hukum tata negara dan
konstitusi tersebut, berbagai pemikiran seputar hukum tata negara dan
konstitusi yang juga terkait dengan soal demokrasi dan hak asasi manusia
dilontarkan demikian gencar oleh berbagai pakar dan akademisi dan menjadi bahan
pembahasan yang serius dan mendalam di ruang publik oleh berbagai kalangan
lainnya.
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan
yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu
dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’
yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Dalam kedua percatan ‘politeia’
dan ‘constitutio’ itulah awal mula gagasan konstitusionalisme
diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah
tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, dapat
dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata ‘politeia’ yang
berasal dari kebudayaan Yunani.[1]
Pengertian konstitusi di zaman yunani kuno masih
bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dimenegrti zaman
modern sekarang ini. Namun perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah
tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh aristoteles terhadap pengertian politea
dan nomoi. Politea dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi,
sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Politea mengandung kekuasaan yang
lebih tinggi dari nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedang
nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar
tidak berceri-berai.
Konstitusi berasal dari kata kerja “contituer” (Prancis)
yang berarti ‘membentuk’, yang dibentuk adalah negara. Dengan demikian dapat
dikatakan membentuk suatu negara, menyusun dan menyatakan suatu Negara. Dalam
bahasa latin kata konstitusi merupakan gabungan dua kata, yaitu ‘cume’ dan ‘statuere’. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama
dengan”, dan statuere berasal dari kata “sta” yang membentuk kata kerja ‘stare”
yang berarti “berdiri”. Atas dasar itu kata statuere mempunyai arti “membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian constitutio (bentuk tunggal) berarti
menetapkan sesuatu secara bersama-sama, dan “constitutiones” (bentuk jamak) berarti segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan
erat dengan sebutan ”respublica
constituere” yang melahirkan semboyan “prinsep legibus solutus est,
salus publica suprema lex”, (rajalah yang berhak menentukan struktur
organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang).
Konstitusi dalam kepustakaan belanda dipergunakan istilah “grondwet” (wet=
undang-undang, grond = dasar), yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi
dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet
menjadi Undang-Undang Dasar.[2]
Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan
dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi tertulis, hampir semua negara
di dunia memilikinya yang lazim disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada
umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja
berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris
dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga
kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga
tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah
sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat
jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai
kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat
kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang dikenal sebagai negara
konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan
norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui
sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti
yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta
nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke
dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel)
suatu Negara.[3]
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan
bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan
materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan
peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin
penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri
sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki
konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui
prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta
struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat
dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup
dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi
perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana
kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis,
sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan
sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui
teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks
filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan
sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk
dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan
pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda,
sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat
terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran
terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan
datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang
ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai
penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya
Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung
terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar. [4]
B. UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai
konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara
Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh
satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota
badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945
dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet)
untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. [5] Namun,
setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan
kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan
naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia
merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing
sebagai Wakil Ketua.[6]
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10
Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan
dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan
pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan
pertama, pembicaraan tertuju pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar
falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka.
Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru
dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17
Agustus 1945.[7]
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia
Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno.
Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo,
dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis,
Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia
Kecil berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya
sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah
BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang,
termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan
Wakil Ketua.
Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang
telah menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI
tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul
perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya
dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian, setelah resmi disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945.
UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam
setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada
pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk
negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan
sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’
atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru
apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini
dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD
1945 yang berbunyi:
“Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga
menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan
ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945
diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum
pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
C. KONSTITUSI RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan
di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian
Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh
Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha Pemerintah
Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena mendapat
perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu,
Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan
mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara,
seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu
diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah
hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan
Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk maksud kembali
menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November
1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den
Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst
voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konferensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati
tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal,
yaitu: (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah
RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat
dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun
bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke Konferensi Meja
Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad
Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah
Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua
belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang-
Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan
kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik
Indonesia dan kemudian resma mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat
tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan
berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.[8]
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari
16 negara bagaian dengan masing-masing mempunyaai daerah dan jumlah penduduk
yang berbeda, yaitu tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia) dengan
wilayah menurut status quo yang
tercantum dalam persetujuan Renville, tanggal 17 Januari 1948, Indonesia Timur,
Pasundan, Jawa Timur, Madur, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan sembilan satuan
kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau,
Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan
Kalimantan Timur. Diantara negara-negara bagian yang terpenting, selain Republik
Indonesia, yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, ialah Negara
Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, dan Negara Indonesia
Timur, Republik Indonesia (Yogyakarta) merasa kependudukannya merosot dari
ibukota Negara RI Proklamasi menjadi ibukota Negara Bagian RI yang merupakan
salah satu dari enam belas negara bagian RIS.[9]
Bertindak selaku presiden atau kepala negara yang
pertama RIS ialah Ir. Soekarno, edangkan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai
perdana menteri yang pertama. Tokoh-tokoh terkemuka yang duduk dalam kabinet
ini antara lain; dari pihak Republik Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo,
Prof. Dr. Supomo, dr. Leimena, Arnold Mononutu, Ir. Herling Loah, sedangkan
dari BFO adalah Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Anggota-anggota
kabinetnya mendukung uniturisme dan hanya dua orang mendukung sistem federal
yaitu Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung.[10] Hal ini
menyebabkan gerakan untuk membubarkan negara federal dan membentuk negara kesatuan
semakin kuat. Terutama karena pembentukkan negara federal itu tidak berdasarkan
landasan konsepsional, menurut kenyataannya, negara federal itu bermula kepada
usaha Belanda untuk menghancurkan RI hasil dari Proklamasi 17 Agustus 1945. Sudah pasti pembentukannya
ditentang oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia. Pada masa itu ternyata
didalam lingkungan negara-negara bentukan Belanda pun, terdapat gerakan Republik
yang kuat yang berhasrat menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil yang dicapai dengan bentk persetujuan KMB itu,
bukanlah cita-cita rakyat Indonesia karena hal itu jelas tidak sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945. Hasil KMB ini menurut beberapa pemimpin (the founding fathers) hanyalah taktik
untuk menuju cita-cita yang murni dari rakyat. Penerimaan hasil-hasil KMB
dianggap sebagai tangga untuk meningkat kepada pembuatan cita-cita rakyat,
yaitu kemerdekaan yang bulat, yang tidak ada ikatan apapun. Menjadi tuan yang
sesungguhnya atas nasib sendiri.
Program utama kabinet Abdul Halim dari Negara Bagian
RI yaitu pembentukan negara kesatuan untuk mewujudkan apa yang disebut oleh Perdana
Menteri Abdul Halim sebagai sentimen anti-KMB dan RIS, yang sangat besar di
Yogyakarta dan terbukti tidak sampai satu tahun, tiga belas negara RIS telah
bergabung dengan RI (Yogyakarta).[11] Program
Negara Bagian RI, untuk mengubah Negara RIS menjadi Negara Kesatuan RI, berhasil
setelah Negara Bagian Sumatera Timur dan Negara Bagian Indonesia Timur setuju
bergabung dangan RIS. Dengan demikian, tinggalah satu, Negara Bagian RI; RIS
mengadakan persetujuan dengan Negara RI untuk mewujudkan negara kesatuan dengan
mengubah Konsitusi Sementara RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)
kemudian disusul dengan proklamasi Pembentukan Negara Kesatuan RI oleh Presiden
Soekarno dihadapan sidang Senat dan DPRS di Jakarta tanggal 15 Agustus 1950.[12] Pembubaran
RIS dan bergabung dengan RI memang dimungkinkan berdasarkan Pasal 43 Konsitusi
RIS, yang menyebutkan: “Dalam penyelesaian
susunan RIS maka berlakulah asas pedoman, bahwa kehendak rakyatlah di daerah-daerah
bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan
status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalam
federasi.” Keadaan ini menandakan bahwa proyek pemerintah Belanda untuk
menciptkan negara federal di Republik Indonesia telah gagal total, rakyat
Indonesia kembali kebentuk negara kesatuan.
Dengan rangka persipan ke arah dibentuknya kembali
Negara Republik Indonesia, maka untuk keperluan menciptkan satu naskah Undang-Undang
Dasar, dibentuklah suatu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya.
Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan
oleh Badan Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh DPR dan
Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya
naskah UUD baru diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus 1950, yaitu
dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUD Sementara 1950 ini bersifat
mengganti sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konsitusi
RIS 1949, tetapi menggantikan naskah Konsitusi RIS itu dengan naskah baru sama
sekali dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.[13]
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi
Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan
sebagai UUD yang bersifat sementara. Lembaga yang membuat dan menetapkan UUD
itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan
ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini,
jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
D. UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950
Bentuk negara federal nampaknya memang mengandung
banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda.
Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin saja memiliki
relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi
karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme
menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk,
pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan
yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih
cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak
bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah
negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan
Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik
Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi
berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik
Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu
mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam
satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya
menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan ke arah itu, maka untuk
keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia
bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah
Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah
UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu
dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti
sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu
dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga
bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang
mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang
tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat
UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil
diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953.
Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama, berisi ketentuan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua, berisi ketentuan
mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu
menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah
diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang
diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai
berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika
Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar
itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD
1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung
Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante
ketika itu sedang krisis, dan karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga
dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian,
nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa,
sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan
sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara
Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan
dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk
Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan
kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono memberikan pembenaran
dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam
bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,[14] prinsip ‘staatsnoodrecht’
itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR
No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian
MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang
dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi
bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu
keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak
Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan
sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara. Akan tetapi,
karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru,
dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan
pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945
mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama kurun masa Orde Baru itu.
UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal,
UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah
dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan
untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah
di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas
dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto
seakan terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi
secara tidak rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
E. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang
paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan
Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi
melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai
pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan
dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal
yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan
oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 [15].
Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi tuntunan yang tidak
bisa dielakkan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan perubahan?. Secara
filosifis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama, karena UUD 1945 adalah
moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat
dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai
perubahan, baik ditingkat nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum
tercakup didalam UUD 1945 karena saat itu belum tampak perubahan tersebut.
Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah
sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap
memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.[16]
Dari aspek historis, sedari mula pembuatannya UUD 1945
bersifat sementara, sebagaimana yang dinyatakkan oleh Ir. Soekarno (Ketua
PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang mengatakan sebagai berikut.[17]
“...tuan-tuan semuanya tentu meengerti bahwa undang undang dasar yang kita
yang buat sekarang ini adalah undang undang dasar sementara kalau boleh saya
memakai perkataan “ini adalah undang undang dasar kilat”, nanti kalau kita
telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali MPR yang dapat membuat
Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan leih sempurna...”.
Dari ungkapan Soekarno diatas, dapatlah disimpulakan
bahwa UUS 1945 dibuat tergesa-gesa kerana akan sgera dipakai untuk melengkapi kebutuhan berdirinya negara baru Indonesia
yang sudah diproklamasikan sehari sebelumnya, yakni 17 Agustus 1945 dan statusnya
adalah sementara. Disamping itu para perumus UUD 1945 belum mempunyai
pengalaman mengurus negara, sehingga masih mencari-cari pola dan bentuk negara
macam apa yang akan didirikan serta bagaimana menjalankan roda pemerintahan.
Untuk itu, wajar kalau UUD 1945 belum lengkap dan tidak semprna sehingga perlu
disempurkan dan dilengkapi.
Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan
kearifan bahwa apa yang meraka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan
berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami
perubahan, baik diihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk hukum yang
mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu, UUD akan aus
diamakan masa apabia tidak diadakanpembaruan sesuai dinamika kehidupan
masyarakat, berbanga dan bernegara dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun
budaya. Sebagaimana yang diutarakan oleh K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) berikut ini. [18]
“Constitutions, when they are framed and adopted, tend
to reflect the dominant belief and interest, or some compromise between
conflicting beliefs and interest, which are characteristic of the society at
that time. Moreover they do not neccessarily reflect political or legal beliefs
and interests only. They may embody conclusions or compromises upon economic
and social matters which the framers of the constitution have wished to
guarantee or to proclaim. A constitution is indeed the resultant of a
parallelogram of forces-political, economic, and social - which operate at the
time of it’s adoption.”
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di
era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi
Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan
amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan
kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan
dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945 yaitu:[19]
1. Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
3. Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensiil);
4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada
dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan
amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap
dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR [20] dari tahun
1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan
dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan
pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan
MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua
pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada
tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah
mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat
dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas
UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang
baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum
MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober
1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal
19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil
mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan
masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan
sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali.
Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal
yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat
atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus
berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi
menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi
yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi,
yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang
Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang
Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal
tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya
mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan
rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam
Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan
Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami
perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan
Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA
tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA
tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan
68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah
Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu,
substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang
tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam
sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan
Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif
materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang
reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang
ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan
Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat
ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan
perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara
aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan
bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000
Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan
ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan
judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16
serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e)
pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8
ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3);
Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal
32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan
Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945
mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19
pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan,
ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau
pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah
mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang
terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD
1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan
dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus
2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak
terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah
UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat
kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok
pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali
berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
E. PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya (a)
pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) penggantian Undang-Undang Dasar, dan (c)
perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945,
Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik
Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian
konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara
Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan,
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang- Undang Dasar baru
sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus
ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk,
diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956
sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat
tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan,
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya
yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain
membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar
1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak ubahnya bagaikan tindakan
penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena itu, sampai dengan berlakunya
kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar,
melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan penggantian
Undang-Undang Dasar. Sementara perubahan UUD 1945 dalam arti pembaharuan
Undang-Undang Dasar, baru terjadi pada era reformasi pada tahun 1998, yaitu
setelah Presiden Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden Prof. Dr. Ir.
Bacharuddin Jusuf Habibie.
UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terakhir
diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan
rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan dalam satu naskah
Undang-Undang Dasar yang mencakupi keseluruhan Hukum Dasar yang sistematis dan
terpadu secara lebih utuh. Semula materi muatan naskah asli UUD 1945 berisi 71
butir ketentuan, setelah perubahan menjadi 199 butir ketentuan yang isinya
mencakup dasar-dasar normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool
of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan
dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool
of social and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of
social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa.
Meskipun perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut,
meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Namun sesuai dengan kesepakatan
MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999,
Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita
bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat
tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh
William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme.
Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia.
Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan
nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan
bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945
Terhadap Pembangunan Hukum Nasional
.Jakarta: Konstitusi
Pres.
2005.
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2013.
Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi
Hukum
Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. 1983.
Mirza Nasution, Negara dan Kostitusi, Medan:
Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara USU Digital Library, 2004
Pringgodigdo, A.G. Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Bandung: Majalah Hukum dan Masyarakat. 1958.
Bukune, Redaksi. Undang-Undang Dasar 1945 & Perubahannya. Jakarta: Bukune. 2010.
Huda, Ni’natul. Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pres. 2013.
Ide
Anak Agung Gde Agung. Dari Negara
Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1985.
PJ.
Suwarno. Hameng Buwono dan Sistem Birokrasi
Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947. Yogyakarta: Kanisius. 1994.
K.C. Wheare. Modern Constitution. London:Oxford
University Press. 1975.
[1] Jimly
Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press, 2005, hal.1
[2] Mirza
Nasution, Negara dan Kostitusi, Medan: Fakultas Hukum Universitas
Sumatra Utara USU Digital Library, 2004,
hal. 2.
[5] A.G.
Pringgodigdo, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia, majalah Hukum
dan Masyarakat, Tahun III No.2, Mei 1958, hal. 3-26.
[6] Republik
Indonesia, Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal. xxv.
[7] Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983, hal.
88.
[10] Herbert Feithh, The Decline Of Constitutional Democracy in
Indonesia, New York: Ithaca, 1962, hal. 47.
[11] PJ. Suwarno, Hameng Buwono dan Sistem Birikrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1947 Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 282.
[12] Ide Anak Agung Gde
Agung, Dari Negara Indonesia Timur ke
Republik Indonesia Serikat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985,
hal. 771.
[15]Jimly
Asshidiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Masional,
Kontsitusi Pres, Jakarta, 2005, hal. 5
[19]Lima
kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang
Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk
Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[20]Sidang
Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50
Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar